Kesultanan Banten

SEJARAH SINGKAT Kesultanan Banten


Kesultanan Banten atau dikenal di dunia barat dengan nama Bantam adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di wilayah Banten, DKI Jakarta, sebagian Jawa Barat dan Lampung, Indonesia. Kesultanan ini berawal sekitar tahun 1526, ketika Kesultanan Cirebon dan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat laut Pulau Jawa, dengan menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan sebagai antisipasi dari terwujudnya perjanjian antara Kerajaan Sunda dan Portugis di tahun 1522 M.


Maulana Hasanuddin, putra dari Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut khususnya di daerah Teluk Banten. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mulai mengembangkan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan (dibangun 1552 M), saat ini terletak di Banten Lama. Surosowan berkembang menjadi kawasan kota pesisir yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.


Kesultanan Banten pernah menjadi pusat perdagangan besar dan penting di Asia Tenggara, dengan barang ekspor unggulan terutama lada. Kesultanan ini mencapai puncak kejayaannya di akhir abad ke-16 sampai ke pertengahan abad ke-17. Pada akhir abad ke-17 kesultanan ini mulai dibayangi oleh VOC di Batavia, serta akhirnya dianeksasi ke Hindia Belanda pada tahun 1813. Wilayah intinya saat ini membentuk provinsi Banten. Saat ini di Banten Lama terutama Masjid Agung Banten menjadi tujuan penting bagi wisatawan dan peziarah dari seluruh Indonesia dan dari luar negeri.


Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, namun di waktu yang bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara dan persaingan memperebutkan sumber daya maupun perdagangan dengan kekuatan global, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan di masa-masa akhir pemerintahannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.


Puncak kejayaan


Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertakhta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.Dibawah kepemimpinanya , Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.


Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Tiongkok dan Jepang.


Kesultanan Banten menyerang loji atau gudang Belanda di Indramayu

Pada bulan April tahun 1679 kesultanan Banten menyerang Loji atau gudang V O C di Indramayu di bawah pimpinan Arya Surya dan Ratu Bagus Abdul Qadir, penyerangan kesultanan Banten ini adalah bagian dari perang gerilya kesultanan Banten terhadap V O C dan sekutunya di pulau Jawa.


Keruntuhan Kesultanan Banten 


Salah satu penyebab keruntuhan Kesultanan Banten pada abad ke-18 ini hampir sama seperti kebanyakan kerajaan Nusantara kala itu, yakni akibat kemunculan kolonial Belanda.

Seperti banyak kerajaan di Indonesia, Kesultanan Banten juga menjadi sasaran ekspansi kolonial oleh Belanda. Terlebih kolonial mengamankan basis mereka di Batavia dan berusaha menguasai wilayah-wilayah penting di sekitarnya. Dari situ muncul Perjanjian Panarukan yang dibuat oleh VOC. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa Kesultanan Banten mengakui kedaulatan VOC di wilayah Banten. Hal ini membuat Banten menjadi negara bawahan VOC. Selain itu, dalam Banten sendiri terdapat perpecahan internal dan perselisihan yang mengakibatkan terbaginya kesultanan menjadi dua bagian, yaitu Kesultanan Banten Lama dan Kesultanan Banten Girang. Hingga pada akhirnya Belanda berhasil menaklukkan Kesultanan Banten setelah mengalami beberapa pertempuran dan konflik bersama pasukan pemberontak. Sultan Muhammad Syafiuddin, selaku penguasa Kesultanan Banten saat itu, menyerah kepada Belanda pada tanggal 18 November 1832 yang menandai keruntuhan Kerajaan Banten.